Lahirnya Pepatah Adat Basandi Syarak Syarak Basandi Kitabullah (ABSSBK)
Menurut Prof. Dr. Hamka Dt. Indomo,
dalam bukunya : Islam dan Adat Minangkabau, Minangkabau sudah pernah menempuh
zaman kebesaran dan kejaaan semasa 500 tau 600 tahun yang lalu, tidak lah dapat
dipungkiri lagi. Dalam tahun 1286 Baginda Maharaja Kertanegara mengirimkan
patung Budha ke Minangkabau sebagai tanda perhubungannya dengan raja-raja
keturunan Jawa itu. Di Pariaman terjadi perebutan kekuasaan Portugis dengan
Aceh, dan di zaman Iskandar Muda yang mula memerintah tahun 1604, terjadi
perebutan pengaruh yang hebat. Bersamaan dengan serangan politik, Aceh membawa
juga penyiaran agama Islam. Dua faham bertentangan pada masa itu, yaitu faham
Syekh Abdurrauf dan Nuruddin Arraniri yang mempertahankan faham Ahlissunnah,
Wihdatussyuhud yang menyatakan, bahwa alam itu bekas kuasa Tuhan. Dengan faham
Hamzah Al Fanshuri dan Syamsuddin As Samatrani yang berfaham Wihdatul Wujud,
beriktikad bahwa alam itu adalah sebagian dari pada Tuhan, laksana buih lautan
itu sebagain dari pada ombak. Murid Abdurrauf datang ke Minangkabau, bertempat
di Ulakan Pariaman, bernama Burhanuddin, karena mendengar bahwa pengikut Hamzah
Fanshuri telah masuk pula ke Minangabau dan memilih Cangking sebagai pusatnya.
Demikianlah duduknya iktikad dan agama
sampai kepada permulaan abad kesembilan
belas. Pada waktu itu datanglah gerakan baru yang amat hebat, yang mula-mula
menggoncang batu sendi adat istiadat, dengan datangnya kaum Paderi dari Mekkah
di bawah pimpinan Haji Miskin di Pandai Sikek. Mereka telah melihat kekerasan
beragama yang digerakkan kaum Wahabi di tanah Arab. Menurut keyakinan mereka,
perjalanan agama secara damai sebagai selama ini, menghilangkan sifat pelajaran
agama yang sejati, sehingga tercampur dengan pelajaran agama lain. Orang Wahabi
di tanah Arab memandang orang yang tidak sefaham dengan dia sebagai musuh,
walaupun sama-sama Islam. Sebab keislaman mereka hanya tinggal nama saja, mereka telah
meperserikatkan Tuhan dengan yang lain. Kaum Padri memandang tidak ada tanda-tanda Islam yang hidup,
raja-raja masih mecampurkan upara Hindu dan Islam. Guru-guru agama masih
berkhidmat kepada kubur-kubur orang yang dianggap keramat Pemuda masih mengadu
ayam. Negeri baru akan selamat kalau pemerintahan yang lemah dan tidak baragama
itu dihapuskan dan diganti dengan pemerintahan kaum agama semata-mata.
Pergerakan Padri amatlah hebat sampai ajtuhnya Bonjol ke tangan Belanda.
Dengan jatuhnya Bonjol, banyak
perubahan terjadi di Minangkabau, Islam telah dapat menempuh suasana baru. Kaum
adat menambah lagi memasukkan anasir Islam ke dalam adat, sehingga timbul
pepatah adat : “Syarak nan mengata, adat nan memakai. Sudah adat ka balairung,
sudah syarak ke mesjid. Setelah
agama Islam dibawa masuk kemari, agama itu pun dicocokkan pula dengan
masyarakat. Adat bersendi syarak, syarak bersendi
Kitabullah. Syarak mengata adat memakai. Mesjid sebuah balairung seruang.
Menurut Darwis Tahaib Dt. Sidi Bandaro, di
antara keputusan-keputusan yang diambil dalam Kerapatan Luhak Nan Tigo ada satu
yang amat penting, yaitu keputusan rapat pangulu-pangulu dengan alim ulama yang
diadakan di Bukit Marapalam Batusangkar. Keputusan itu terkenal dengan nama
Piagam Bukit Marapalam, yaitu :
Adat Bapaneh Syarak Balinduang; Syarak Mangato Adat Mamakai.
Kesimpulan
piagam itu kemudian terkenal dengan :
Adat dan Syarak Sandar Manyandar
Ada juga
diringkaskan menjadi : Adat Basandi
Syarak
Piagam Bukit Marapalam
yang menjadi hasil keputusan rapat orang Tiga Luhak kira-kira di permulaan abad
ke 19 itu menjadi amat penting, karena pada waktu itu dapat mengatasi kesulitan
yang terjadi dalam nagari, karena sebelumnya pernah terjadi pergeseran. Isinya tidak saja dapat mengatasi kesulitan, tetapi dapat mencapai
keserasian antara adat dan syarak. Secara positif melalui hikmat kebijaksanaan.
Piagam Bukit Marapalam itu dinyatakan dalam kata-kata pantun petitinya :
Alah bakarih samparono; Bingkisan Rajo
Majopahik;
Tuah Basabab Bakarano;
Pandai Batenggang di nan rumik.
Tajam alah calakpun ado; tingga di bawa
manyimpaikan;
Adat alah syarak pun ado; tingga di
awak mamakaikan.
Piagam Bukit Marapalam
tersebut merupakan ayat terakhir dari Undang-undang Luhak, sehingga menjadi
cupak usali, harus diseragamkan-selaraskan berlakunya di seluruh negeri.
Menurut BJO. Schrieke
dalam bukunya yang diterjemahkan dengan judul Pergolakan Agama di Sumatera
Barat, juga menjelaskan tentang terjadinya konflik antara kaum Wahabi dengan
aliran agama Islam lainnya di Sumatera Barat seperti dikemukan oleh penulis
terdahulu. Pepatah terkenal : adat
basandi syarak, syarak basandi adat telah kita jumpai dalam salah satu
sumber kita yang tertua.
Dari uraian para penulis
di atas dan dikaitkan dengan sejarah Minangkabau secara keseluruhan maka dapat
ditarik kesimpulan :
1.
Sebelum masuknya agama Islam ke Minangkabau, masyarakatnya
sudah hidup teratur dengan menggunakan hukum satu-satunya, yaitu hukum adat,
jika adat diibaratkan sebagai mamak rumah, maka syarak diibaratkan sebagai
urang sumando ;
2.
Awalnya agama Islam disiarkan ke Minangkabau dengan cara damai, seperti
yang dilakukan pada zaman nabi;
3.
pada awal abad ke 19 masuk ajaran kaum Wahabi yang
menyatakan bahwa orang yang tidak melaksanakan syarak secara keseluruhan adalah
kafir dan boleh diperangi, sehingga timbul konflik besar-besaran di Minangkabau,
sehingga syarak dapat diibaratkan sebagai sumando kacang miang;
4.
Lahirnya Pepatah Adat Basandi Syarak yang dikenal
sebagai Piagam Bukik Marapalam merupakan keputusan yang amat penting karena
mampu menyelesaikan konflik besar yang terjadi sebelumnya, sehingga menjadi
Undang-undang Luhak yang harus dilaksanakan di seluruh Minangkabau, dan
menjadikan syarak sebagai sumando niniak mamak.
0 comments:
Post a Comment