Tuesday, May 21, 2013

Penyamaan Persepsi Atas Makna Adat Basandi Syarak Dalam Hukum Adat Minangkabau (PART 1)


Lahirnya Pepatah Adat Basandi Syarak Syarak Basandi Kitabullah (ABSSBK)

Menurut Prof. Dr. Hamka Dt. Indomo, dalam bukunya : Islam dan Adat Minangkabau, Minangkabau sudah pernah menempuh zaman kebesaran dan kejaaan semasa 500 tau 600 tahun yang lalu, tidak lah dapat dipungkiri lagi. Dalam tahun 1286 Baginda Maharaja Kertanegara mengirimkan patung Budha ke Minangkabau sebagai tanda perhubungannya dengan raja-raja keturunan Jawa itu. Di Pariaman terjadi perebutan kekuasaan Portugis dengan Aceh, dan di zaman Iskandar Muda yang mula memerintah tahun 1604, terjadi perebutan pengaruh yang hebat. Bersamaan dengan serangan politik, Aceh membawa juga penyiaran agama Islam. Dua faham bertentangan pada masa itu, yaitu faham Syekh Abdurrauf dan Nuruddin Arraniri yang mempertahankan faham Ahlissunnah, Wihdatussyuhud yang menyatakan, bahwa alam itu bekas kuasa Tuhan. Dengan faham Hamzah Al Fanshuri dan Syamsuddin As Samatrani yang berfaham Wihdatul Wujud, beriktikad bahwa alam itu adalah sebagian dari pada Tuhan, laksana buih lautan itu sebagain dari pada ombak. Murid Abdurrauf datang ke Minangkabau, bertempat di Ulakan Pariaman, bernama Burhanuddin, karena mendengar bahwa pengikut Hamzah Fanshuri telah masuk pula ke Minangabau dan memilih Cangking sebagai pusatnya.
Demikianlah duduknya iktikad dan agama sampai kepada permulaan abad  kesembilan belas. Pada waktu itu datanglah gerakan baru yang amat hebat, yang mula-mula menggoncang batu sendi adat istiadat, dengan datangnya kaum Paderi dari Mekkah di bawah pimpinan Haji Miskin di Pandai Sikek. Mereka telah melihat kekerasan beragama yang digerakkan kaum Wahabi di tanah Arab. Menurut keyakinan mereka, perjalanan agama secara damai sebagai selama ini, menghilangkan sifat pelajaran agama yang sejati, sehingga tercampur dengan pelajaran agama lain. Orang Wahabi di tanah Arab memandang orang yang tidak sefaham dengan dia sebagai musuh, walaupun sama-sama Islam. Sebab keislaman mereka  hanya tinggal nama saja, mereka telah meperserikatkan Tuhan dengan yang lain. Kaum Padri memandang  tidak ada tanda-tanda Islam yang hidup, raja-raja masih mecampurkan upara Hindu dan Islam. Guru-guru agama masih berkhidmat kepada kubur-kubur orang yang dianggap keramat Pemuda masih mengadu ayam. Negeri baru akan selamat kalau pemerintahan yang lemah dan tidak baragama itu dihapuskan dan diganti dengan pemerintahan kaum agama semata-mata. Pergerakan Padri amatlah hebat sampai ajtuhnya Bonjol ke tangan Belanda.
Dengan jatuhnya Bonjol, banyak perubahan terjadi di Minangkabau, Islam telah dapat menempuh suasana baru. Kaum adat menambah lagi memasukkan anasir Islam ke dalam adat, sehingga timbul pepatah adat : “Syarak nan mengata, adat nan memakai. Sudah adat ka balairung, sudah syarak ke mesjid. Setelah agama Islam dibawa masuk kemari, agama itu pun dicocokkan pula dengan masyarakat. Adat bersendi syarak, syarak bersendi Kitabullah. Syarak mengata adat memakai. Mesjid sebuah balairung seruang.
 Menurut Darwis Tahaib Dt. Sidi Bandaro, di antara keputusan-keputusan yang diambil dalam Kerapatan Luhak Nan Tigo ada satu yang amat penting, yaitu keputusan rapat pangulu-pangulu dengan alim ulama yang diadakan di Bukit Marapalam Batusangkar. Keputusan itu terkenal dengan nama Piagam Bukit Marapalam, yaitu :
Adat Bapaneh Syarak Balinduang; Syarak Mangato Adat Mamakai.
            Kesimpulan piagam itu kemudian terkenal dengan :
                        Adat dan Syarak Sandar Manyandar
Ada juga diringkaskan menjadi : Adat Basandi Syarak
            Piagam Bukit Marapalam yang menjadi hasil keputusan rapat orang Tiga Luhak kira-kira di permulaan abad ke 19 itu menjadi amat penting, karena pada waktu itu dapat mengatasi kesulitan yang terjadi dalam nagari, karena sebelumnya pernah terjadi pergeseran. Isinya tidak saja dapat mengatasi kesulitan, tetapi dapat mencapai keserasian antara adat dan syarak. Secara positif melalui hikmat kebijaksanaan. Piagam Bukit Marapalam itu dinyatakan dalam kata-kata pantun petitinya :
                        Alah bakarih samparono; Bingkisan Rajo Majopahik;
                        Tuah Basabab Bakarano; Pandai Batenggang di nan rumik.

                        Tajam alah calakpun ado; tingga di bawa manyimpaikan;
                        Adat alah syarak pun ado; tingga di awak mamakaikan.
            Piagam Bukit Marapalam tersebut merupakan ayat terakhir dari Undang-undang Luhak, sehingga menjadi cupak usali, harus diseragamkan-selaraskan berlakunya di seluruh negeri.
            Menurut BJO. Schrieke dalam bukunya yang diterjemahkan dengan judul Pergolakan Agama di Sumatera Barat, juga menjelaskan tentang terjadinya konflik antara kaum Wahabi dengan aliran agama Islam lainnya di Sumatera Barat seperti dikemukan oleh penulis terdahulu. Pepatah terkenal : adat basandi syarak, syarak basandi adat telah kita jumpai dalam salah satu sumber kita yang tertua.   
            Dari uraian para penulis di atas dan dikaitkan dengan sejarah Minangkabau secara keseluruhan maka dapat ditarik kesimpulan :
1.      Sebelum masuknya agama Islam ke Minangkabau, masyarakatnya sudah hidup teratur dengan menggunakan hukum satu-satunya, yaitu hukum adat, jika adat diibaratkan sebagai mamak rumah, maka syarak diibaratkan sebagai urang sumando ;
2.      Awalnya agama Islam disiarkan  ke Minangkabau dengan cara damai, seperti yang dilakukan pada zaman nabi;
3.      pada awal abad ke 19 masuk ajaran kaum Wahabi yang menyatakan bahwa orang yang tidak melaksanakan syarak secara keseluruhan adalah kafir dan boleh diperangi, sehingga timbul konflik besar-besaran di Minangkabau, sehingga syarak dapat diibaratkan sebagai sumando kacang miang;
4.      Lahirnya Pepatah Adat Basandi Syarak yang dikenal sebagai Piagam Bukik Marapalam merupakan keputusan yang amat penting karena mampu menyelesaikan konflik besar yang terjadi sebelumnya, sehingga menjadi Undang-undang Luhak yang harus dilaksanakan di seluruh Minangkabau, dan menjadikan syarak sebagai sumando niniak mamak.

0 comments: