Tuesday, May 21, 2013

Penyamaan Persepsi Atas Makna Adat Basandi Syarak Dalam Hukum Adat Minangkabau (PART 4)



Perbedaan Makna Syarak dan Addin
Variabel kedua adalah syarak,  yang harus dibedakan dengan addin. Syarak berasal dari bahasa Arab syar’i, yang sering pula diterjemahkan menjadi syari’at. Istilah ini sering disalahtafsirkan dengan addin yang berarti agama. Agama Islam sebagai  dinullahi intinya adalah ajaran tentang akhlak, sesuai dengan hadis: bahwa sesungguhnya aku diutus untuk kesempurnaan akhlak yang mulia, akhlakul karimah. Agama Islam dimulai dari ajaran tauhid atau monoteisme dengan mengesakan Tuhan, La ilaha illa Allah. Ma’rifat, tarikat dan ibadat yang bertujuan untuk mengabdikan diri tidak lain kepada Allah dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah untuk memperoleh keredaannya. Di samping itu Islam juga membawa ajaran tentang hukum yang disebut dengan istilah syar’i.
Ada berbagai faham mengenai syar’i ini dalam perkembangan Islam, khususnya  di Minangkabau. Menurut Prof. Hamka, kaum Wahabi di tanah Arab berpendapat bahwa  perjalanan agama secara damai selama ini, menghilangkan sifat pelajaran agama yang sejati, sehingga tercampur dengan pelajaran agama lain, yang bukan berasal dari agama itu sendiri. Mereka memandang orang yang tidak sefaham dengan dia sebagai musuh, walaupun sama-sama Islam. Sebab keislaman mereka tinggal nama saja, mereka telah memperserikatkan Tuhan dengan yang lain. Kaum Padri Minangkabau juga berpendirian begitu, maka amat hebatlah pergerakan Padri sejak bagian pertama (1801 – 1806), yaitu zaman menyusun, dan bagian kedua (1826 – 1837) zaman berperang menyiarkan faham, sampai jatuhnya Bonjol ke tangan Belanda.
Tuanku nan Renceh termasuk penganut faham ini, sehingga dia tega membunuh ibunya yang tidak mau dilarangnya makan sirih dan tembakau. Para penganut faham Wahabi, termasuk Haji Miskin dari Pandai Sikek dan Haji Sumaniek, menghendaki diberlakukannya syariat Islam sepenuhnya. Dia ingin merombak secara total hukum adat Minangkabau, ingin mengganti sistem matrilineal ke patrilineal atau parental, membagi-bagi harta pusaka sesuai al faraidh.
Padahal di dalam hukum Islam sendiri, seperti dikemukakan oleh Drs. H. Asymuni A. Rahman, Dosen IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, ‘urf atau adat kebiasaan diakui di dalam hukum Islam. ‘urf atau adat kebiasaan dapat diterima jika membawa kemaslahatan  dan telah terkenal dalam masyarakat dan dipandang baik.
Berdasarkan uraian di atas, terlihat bahwa ada dua pandangan mengenai syarak. Pertama, pandangan yang menginginkan berlakunya hukum Islam seluruhnya dengan merubah seluruh adat kebiasaan yang ada dalam masyarakat yang telah ada sebelumnya yang diekanal dengan kaum Wahabi. Kedua, pandangan yang membenarkan berlakunya hukum adat (‘urf) yang ada dalam masyarakat setempat.

0 comments: