Tuesday, May 21, 2013

Penyamaan Persepsi Atas Makna Adat Basandi Syarak Dalam Hukum Adat Minangkabau (Part 6)



 Penyamaan Persepsi Tentang ABSSBK
Terjadinya konflik antara kaum Wahabi dengan niniak mamak yang juga telah menganut agama Islam disebabkan karena kaum Wahabi ingin memaksakan berlakunya syariat Islam sepenuhnya dengan  mengaharamkan hukum adat Minangkabau yang telah ada selama ini dan memerangi mereka yang mempertahankannya. Niniak mamak memandang bahwa bila hukum Islam diterapkan seluruhnya, Minangkabau akan kehilangan minangnya, karena ciri khas Minangkabau seperti hukum keluarga dengan sistem matrilineal, hukum harta kekayaan, pewarisan kolektif harta pusaka, tanah ulayat, nagari dengan suku ibu, hukum perkawinan, hukum perjanjian, pemerintahan nagari, dsb. harus diganti dengan sistem patrlineal dengan segala akibat hukumnya. Suku harus diganti dengan suku ayah, nagari yang tersusun atas empat suku ibu harus dibubarkan, pangulu dan ninieak mamak sebagai pimpinan suku ibu harus diberhentikan, Kerapatan Adat Nagari yang merupakan kerapatan dari wakil-wakil suku ibu harus dibubarkan, harta bersama harus dibagi secara al faraidh, dsb. Masyarakat Minang akan kocar-kacir, dan  akan terjadi pertumpahan darah yang dahsyat. Mudaharatnya lebih besar dari manfaatnya.
Berdasarkan makna sandi yang digunakan dalam pepatah ini seperti diuraikan di muka, maka pepatah ini harus diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi Adat diperkokoh oleh syarak, syarak diperkokoh oleh kitabullah. Hal ini sesuai dengan sejarah, bahwa di Minangkabau hukum adat lebih dahulu adanya dari hukum Islam. Demikian pula dengan syariat Islam, karena ‘urf atau adat Saudi Arabia yang kemudian menjadi sebagian hukum Islam itu telah ada sebelum turunnya kitabullah.
Adat jo syarak sanda manyanda bak tabiang jo aua, tabiang indak runtuah aua indak taban. Syarak mangato adat mamakai. Adat bapaneh syarak balindung. Antara hukum adat dengan syarak seperti anyaman tikar, helaian vertikal (syarak) jalin menjalin dengan helaian horizontal (adat). Dalam bidang tertentu dipakai adat, di bidang lain dipakai syarak. Sepanjang menyangkut dosa, pahala, halal, dan haram dipakailah syarak, selebihnya tetap dipakai hukum adat.
Untuk menjelaskan berlakunya hukum Islam di Minangkabau dapat digunakan teori resepsi dari Snouck Hurgronje atau teori keputusan (beslissingen leer) dari Ter Haar. Menurut Snouck Hurgronje, hukum agama yang berlaku bagi pemeluk agama itu sepanjang yang telah diterima menjadi bagian dari hukum adat mereka. Jadi bagian yang belum diterima, tidak dapat diterapkan begitu saja oleh hakim. Menurut Ter Haar, hukum agama diterapkan bagi pemeluknya apabila telah diputuskan oleh fungsionaris hukum masyarakat yang bersangkutan.
Menurut J.Prins, yang membedakan antara agama Kristen dengan agama Islam ialah bahwa  agama Kristen tidak mengembangkan ilmu pengetahuan undang-undang, agama kristen bukanlah undang-undang. Sebaliknya agama Islam mempunyai ajaran fikhnya yang mengatakan memberikan peraturan Tuhan Allah untuk segala bidang kehidupan, dalam segala keadaan dan berlaku untuk segala zaman. Tentu sudah anda ketahui, bahwa betapa besarpun keinginan tersebut, di bagian-bagian Indonesia yang bergama Islam dan negeri muslim lainnya hanya terdapat beberapa aturan atau pasal saja dari fikh itu yang berlaku bagi kehidupan hukum penganut agama Islam. Untuk selanjutnya hukum fikh itu dianggap sebagai hukum idaman.
            Kekeliruan pemahaman selama ini adalah karena diterjemahkannya istilah sandi ke dalam bahasa Indonesia menjadi sendi, sehingga berarti dasar, alas atau asas. Akibatnya, hukum Islam dipandang sebagai hukum yang tinggi (lex superior) sedangkan hukum adat sebagai hukum yang rendah (lex inferiori). Akibatnya berlaku asas dalam hukum yang berbunyi : lex superior derogaat lex inferiori, hukum yang tinggi menghacurkan hukum yang rendah. Pemahaman inilah yang dimaksudkan oleh penganut kaum Wahabi, yang ingin mengganti semua hukum di ranah Minang ini dengan syariat Islam yang katanya, sejati.
            Kalaulah, makna pepatah ini seperti yang dimaksudkan kaum Wahabi, tentu niniak mamak tidak akan mau menyetujuinya. Kalau memang mereka setuju, tentu kini suku Koto telah berganti dengan suku Quraisy, setidaknya jadi orang yang tak bersuku. Tapi nyatanya, sistem kekerabatan, pemerintahan, kewarisan, dsb di Minangkabau tetap seperti sedia kala, malah dewasa ini kita telah kembali lagi ke dalam sistem pemerintahan nagari.
Dari uraian ini, mungkin di antara pembaca yang budiman, akan mencap penulis sebagai anti syariat Islam. Di satu sisi mungkin ada benarnya, jika yang mereka artikan dengan syariat Islam adalah apa yang dimaksudkan oleh pengikut Wahabi. Tetapi mereka yang memandang syariat Islam seperti yang dimaksudkan oleh Drs. H. Asymuni A. Rahman, ‘urf atau adat kebiasaan yang membawa kemaslahatan masyarakat diakui di dalam hukum Islam,  hukum adat adalah hukum, akan mengatakan bahwa penulis bukanlah demikian

0 comments: