Penyamaan Persepsi Tentang
ABSSBK
Terjadinya konflik antara kaum Wahabi dengan niniak mamak yang juga telah
menganut agama Islam disebabkan karena kaum Wahabi ingin memaksakan berlakunya
syariat Islam sepenuhnya dengan
mengaharamkan hukum adat Minangkabau yang telah ada selama ini dan
memerangi mereka yang mempertahankannya. Niniak mamak memandang bahwa bila
hukum Islam diterapkan seluruhnya, Minangkabau akan kehilangan minangnya,
karena ciri khas Minangkabau seperti hukum keluarga dengan sistem matrilineal,
hukum harta kekayaan, pewarisan kolektif harta pusaka, tanah ulayat, nagari
dengan suku ibu, hukum perkawinan, hukum perjanjian, pemerintahan nagari, dsb.
harus diganti dengan sistem patrlineal dengan segala akibat hukumnya. Suku
harus diganti dengan suku ayah, nagari yang tersusun atas empat suku ibu harus
dibubarkan, pangulu dan ninieak mamak sebagai pimpinan suku ibu harus
diberhentikan, Kerapatan Adat Nagari yang merupakan kerapatan dari wakil-wakil
suku ibu harus dibubarkan, harta bersama harus dibagi secara al faraidh, dsb.
Masyarakat Minang akan kocar-kacir, dan
akan terjadi pertumpahan darah yang dahsyat. Mudaharatnya lebih besar
dari manfaatnya.
Berdasarkan makna sandi yang digunakan dalam pepatah ini seperti diuraikan
di muka, maka pepatah ini harus diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi
Adat diperkokoh oleh syarak, syarak
diperkokoh oleh kitabullah. Hal ini sesuai dengan sejarah, bahwa di
Minangkabau hukum adat lebih dahulu adanya dari hukum Islam. Demikian pula
dengan syariat Islam, karena ‘urf atau adat Saudi Arabia yang kemudian menjadi
sebagian hukum Islam itu telah ada sebelum turunnya kitabullah.
Adat jo syarak sanda manyanda bak tabiang jo aua, tabiang indak runtuah aua
indak taban. Syarak mangato adat mamakai. Adat bapaneh syarak balindung. Antara hukum adat dengan syarak seperti anyaman tikar, helaian
vertikal (syarak) jalin menjalin dengan helaian horizontal (adat). Dalam bidang
tertentu dipakai adat, di bidang lain dipakai syarak. Sepanjang menyangkut
dosa, pahala, halal, dan haram dipakailah syarak, selebihnya tetap dipakai
hukum adat.
Untuk menjelaskan
berlakunya hukum Islam di Minangkabau dapat digunakan teori resepsi dari Snouck
Hurgronje atau teori keputusan (beslissingen leer) dari Ter Haar. Menurut
Snouck Hurgronje, hukum agama yang berlaku bagi pemeluk agama itu sepanjang
yang telah diterima menjadi bagian dari hukum adat mereka. Jadi bagian yang
belum diterima, tidak dapat diterapkan begitu saja oleh hakim. Menurut Ter
Haar, hukum agama diterapkan bagi pemeluknya apabila telah diputuskan oleh
fungsionaris hukum masyarakat yang bersangkutan.
Menurut J.Prins, yang
membedakan antara agama Kristen dengan agama Islam ialah bahwa agama Kristen tidak mengembangkan ilmu
pengetahuan undang-undang, agama kristen bukanlah undang-undang. Sebaliknya agama Islam mempunyai ajaran
fikhnya yang mengatakan memberikan peraturan Tuhan Allah untuk segala bidang
kehidupan, dalam segala keadaan dan berlaku untuk segala zaman. Tentu sudah
anda ketahui, bahwa betapa besarpun keinginan tersebut, di bagian-bagian
Indonesia yang bergama Islam dan negeri muslim lainnya hanya terdapat beberapa
aturan atau pasal saja dari fikh itu yang berlaku bagi kehidupan hukum penganut
agama Islam. Untuk selanjutnya hukum fikh itu dianggap
sebagai hukum idaman.
Kekeliruan pemahaman selama ini
adalah karena diterjemahkannya istilah sandi ke dalam bahasa Indonesia menjadi
sendi, sehingga berarti dasar, alas atau asas. Akibatnya, hukum Islam dipandang
sebagai hukum yang tinggi (lex superior) sedangkan hukum adat sebagai hukum
yang rendah (lex inferiori). Akibatnya berlaku asas dalam hukum yang berbunyi :
lex superior derogaat lex inferiori, hukum yang tinggi menghacurkan hukum yang
rendah. Pemahaman inilah yang dimaksudkan oleh penganut kaum Wahabi, yang ingin
mengganti semua hukum di ranah Minang ini dengan syariat Islam yang katanya, sejati.
Kalaulah, makna pepatah ini seperti
yang dimaksudkan kaum Wahabi, tentu niniak mamak tidak akan mau menyetujuinya. Kalau
memang mereka setuju, tentu kini suku Koto telah berganti dengan suku Quraisy,
setidaknya jadi orang yang tak bersuku. Tapi nyatanya, sistem kekerabatan,
pemerintahan, kewarisan, dsb di Minangkabau tetap seperti sedia kala, malah
dewasa ini kita telah kembali lagi ke dalam sistem pemerintahan nagari.
Dari uraian ini, mungkin di antara pembaca yang
budiman, akan mencap penulis sebagai anti syariat Islam. Di satu sisi mungkin
ada benarnya, jika yang mereka artikan dengan syariat Islam adalah apa yang
dimaksudkan oleh pengikut Wahabi. Tetapi mereka yang memandang syariat Islam
seperti yang dimaksudkan oleh Drs. H. Asymuni A. Rahman, ‘urf atau adat
kebiasaan yang membawa kemaslahatan masyarakat diakui di dalam hukum Islam, hukum adat adalah hukum, akan mengatakan bahwa
penulis bukanlah demikian
0 comments:
Post a Comment