Tuesday, May 21, 2013

Penyamaan Persepsi Atas Makna Adat Basandi Syarak Dalam Hukum Adat Minangkabau (Part 7)



Aplikasi Yuridis ABSSBK
Seperti telah diuraikan di atas, masyarakat Minang menerima Islam sebagai agama(addin). Mereka menerima ajaran tentang tauhid, ma’rifatullah, iman, ihsan, ibadah, dsb. Malah bukanlah orang Minang namanya kalau tidak Islam. Tetapi berkenaan dengan syariat (hukum Islam) sepanjang menyangkut hubungan antar manusia di dunia ini, mengenai aturan yang akan dipakai dalam hidup bersama yang secara tegas ditetapkan padahan (sanksi)nya, tunggu dulu. Mereka menerima hukum Islam apabila menyangkut dengan dosa, pahala, halal dan haram.

a.       Hukum Perkawinan
            Mengenai peminangan, pertunangan, pesta, domisili, hak dan kewajiban suami isteri, penguasaan harta perkawinan dan status anak tetap dipakai hukum adat. Hukum Islam hanya dipakai dalam formalitas pengesahan perkawinan, karena adalah dosa kalau perkawinan tidak dilaksanakan melalui ijab kabul antara wali mempelai perempuan dengan mempelai laki-laki, pembayaan mahar, dihadiri dua saksi dan dilangsungkan karena Allah. Demikian pula dalam pengesahan perceraian, karena adalah dosa kalau seorang perempuan yang perceraiannya dengan suami terdahulu belum disyahkan melalui pengucapan talak oleh suami atau putusan hakim, kawin lagi dengan laki-laki lain.
            Dengan demikian terlihat bahwa selama ini telah terjadi pelanggaran HAM dalam penyelesaian sengketa perkawinan anak Minang oleh pengadilan agama karena kehidupan perkawinan mereka diatur oleh hukum adat, sementara perceraian mereka diadili menurut hukum Islam saja.
b.      Hukum Kekerabatan
Berkenaan dengan hukum kekerabatan, yang menyangkut dengan hukum pertalian darah, mayoritas masyarakat Minang (kecuali perantau) tetap menggunakan hukum adat, yakni berupa ikatan ibu-anak, mamak - kamanakan, ayah - anak, ipa-bisan, bako-anak pisang, dsb. Hanya mereka yang hidup di rantau, tidak merasakan bagaimna hidup menurut tatanan hukum adat Minangkabau, sehingga muncul keinginan untuk merombak sistem kekerabatan ini.
c.       Hukum Waris
Dalam Seminar Hukum Tanah dan Waris Minangkabau tahun 1968 disimpulkan bahwa pewarisan harta pusaka dilaksanakan sesuai dengan hukum adat. Sedangkan harta pancarian laki-laki, yaitu setengah dari harta yang diperoleh selama perkawinan berlangsung ditambah harta bawaan sendiri, diwarisi menurut al faraidh dan dapat dihibahkan kepada kamanakan maksimal sepertiga. Berbeda dengan pepatah ABSSBK yang lahir dari rapat urang Tigo Luhak,  kesimpulan Seminar tentu tidak dapat menjadi sumber hukum dalam rangka yudikasi. Dalam kenyataan hidup masyarakat, tidak pernah terlaksana. Bila suami meninggal dunia, harta dikuasai oleh janda secara keseluruhan untuk digunakan bagi kepentingan semua anaknya sesuai dengan kebutuhan. Jika seorang anak perempuan akan menikah, harta yang digunakan untuk keperluannya tidak diklaim oleh saudara laki-laki. Tidak pernah janda membagi-bagi harta pancarian suaminya sesuai al faraidh, jika tidak punya anak janda memperoleh seperempat, jika punya anak hanya seperdelapan. Di antara anak-anak demikian pula, tidak pernah saudara laki-laki menuntut dua kali bagian anak perempuan. Anak laki-laki pada umumnya sadar bahwa kalau harta digunakan untuk keperluan saudara perempuannya mereka tidak keberatan.
d.      Hukum Tanah
Pada asasnya hukum tanah adat tetap berlaku di Minangkabau, sehingga hak-hak komunal atas tanah masih ada, seperti ulayat suku, paruik, kaum dan nagari. Awalnya semua tanah adalah hak komunal dari persekutuan hukum adat, dengan prinsip tanah nan sabingkah, rumpuik nan saalai pangulu nan punyo. Mamaklah yang mengurus dan mengatur pencadangan, pemanfatan, penggunaan, pemberian izin, dsb. terhadap bidang-bidang tanah ulayat. Akibatnya mamak dihormati kamanakan, karena hidup kamanakan tergantung mamak. Dengan masuknya sistem kewarisan individual Islam yang memperkenalkan hak milik, muncul keinginan sebagian anak Minang untuk memiliki secara individual bidang tanah persekutuan. Ganggam bauntuak yang pada asasnya hanya hak pakai, diperlakukan seperti hak milik oleh anggota kaum yang perempuan. Pemanfaatannya tidak lagi di bawah kontrol mamak, seolah-olah mamak tidak lagi punya hak atas tanah itu. Mamak baru dibawaserta kalau tanah akan digadaikan. Akibatnya, martabat mamak di mata kamanakan menjadi luntur. Terjadi pula individualisering lahan, menjadi lahan kecil-kecil yang dikelola secara individual, sehingga tidak mungkin dikembangkan menjadi usaha skala besar dengan teknologi tinggi.
e.       Hukum Ekonomi
Awalnya suku, paruik, kaum dan nagari itu merupakan lembaga ekonomi. Niniak mamak, pangulu, dan nagari mengatur pengelolaan irigasi, jalan, turun ke sawah, pasar, dsb. secara tradisional. Walaupun nagari mendirikan pasar nagari, pasar serikat, dsb. namun sistem perdagangan yang dipakai adalah sistem pasif. Anak nagari membawa produknya ke pasar lokal, menunggu datangnya konsumun, pedagang antar kota, antar pulau dan eksportir. Pihak luar datang secara aktif dan langsung  dengan lembaga yang kuat seperti VOC, NV, Fa, CV, dsb. dengan berbagai model marketing sehingga merekalah yang menentukan harga, baik harga jual produk maupun harga kebutuhan anak nagari. Akibatnya apa yang dijual anak nagari murah dan apa yang mereka beli mahal.  Inilah yang perlu kita fikirkan mengatasinya, dengan membentuk Badan Usaha Nagari dan kosorsiumnya untuk memasarkan produk anak nagari secara aktif sampai ke konsumen, di dalam maupun luar negeri. Jika tidak kehidupan anak nagari tidak akan mengalami perubahan. Allah mengingatkan bahwa merubah nasib harus dengan berkaum.
f.       Hukum Perjanjian
Dalam kehidupan sehari-hari, perjanjian-perjanjian tetap dilaksanakan menurut hukum adat, seperti perjnjian jual beli, sewa menyewa, bagi hasil, pinjam meminjam, salang pinjam (gadai),   tuka imbuah, dsb. baik dalam transaksi tanah maupun yang bukan tanah. Paling-paling ke dalam transaksi adat itu ditambahkan kewajiban ijab kabul di antara para pihak, namun itupun tidak terlaksana. Dengan munculnya Bank Syariah di Mianngkabau, seolah-olah digunakan hukum Islam. Namun setelah diteliti, ternyata maksud sesungguhnya adalah agar orang Islam yang memandang bunga  adalah haram mau berhubungan dengan bank. Kalau dalam perjanjian kredit dikatakan perjanjian bagi hasil, namun ternyata hanya bagi untung saja. Padahal bagi hasil sesungguhnya adalah bagi untung rugi. Kalau untung sama untung, rugi sama rugi. Tetapi bank syariah, tetap menuntut debitur untuk membayar bagian hasil yang telah ditetapkan lebih dulu, walaupun  si debitur mengalami kerugian dalam usahanya.
g.      Hukum Administrasi Pemerintahan (adat)
Ketentuan hukum mengenai kewenangan memimpin dalam masyarakat Minang tetap seperti sediakala, menggunakan hukum adat, misalnya tentang syarat, kewenangan, dan kekuasaan pangulu, anggota dan pimpinan Kerapatan Adat Nagari, mamak kepala waris, tungganai, dsb. Ke dalam struktur pemerintahan adat telah dimasukkan unsur syarak, seperti adanya imam, malin, labai dan katik dalam jabatan adat sebagai jabatan di bidang keagamaan. Dalam sistem ketatanegaraan RI kewengangan persekutuan hukum adat untuk mengurus kepentingan masyarakat setempat diakui dan dihormati seperti dimuat dalam Pasal 18 B UUD 1945 dan Pasal 1 ayat 12 UU No. 32/2004. Karena itu melalui Perda No. 9 Tahun 2000 tentang Pemerintahan Nagari telah terjadi pelanggaran HAM di Sumatera Barat, karena perda ini mencampuri kewenangan nagari dalam mengurus kepentingan masyarakatnya. Karena itu, sistem pemerintahan nagari harus dikembalikan sesuai dengan asas otonomi asli, asas pengakuan persekutuan hukum adat sebagai pelaksana pemerintahan terendah seperti yang ditetapkan UU No. 32/2004, dengan menetapkan KAN sebagai pelaksana pemerintahan terendah, memilih calon Wali Nagari untuk dipilih anak nagari dan ditetapkan Bupati melalui SK pengangkatan Wali Nagari.

0 comments: