Aplikasi Yuridis ABSSBK
Seperti telah diuraikan di atas, masyarakat Minang menerima Islam sebagai
agama(addin). Mereka menerima ajaran tentang tauhid, ma’rifatullah, iman, ihsan,
ibadah, dsb. Malah bukanlah orang Minang namanya kalau tidak Islam. Tetapi
berkenaan dengan syariat (hukum Islam) sepanjang menyangkut hubungan antar
manusia di dunia ini, mengenai aturan yang akan dipakai dalam hidup bersama
yang secara tegas ditetapkan padahan (sanksi)nya, tunggu dulu. Mereka menerima
hukum Islam apabila menyangkut dengan dosa, pahala, halal dan haram.
a. Hukum Perkawinan
Mengenai
peminangan, pertunangan, pesta, domisili, hak dan kewajiban suami isteri,
penguasaan harta perkawinan dan status anak tetap dipakai hukum adat. Hukum
Islam hanya dipakai dalam formalitas pengesahan perkawinan, karena adalah dosa
kalau perkawinan tidak dilaksanakan melalui ijab kabul antara wali mempelai
perempuan dengan mempelai laki-laki, pembayaan mahar, dihadiri dua saksi dan
dilangsungkan karena Allah. Demikian pula dalam pengesahan perceraian, karena
adalah dosa kalau seorang perempuan yang perceraiannya dengan suami terdahulu
belum disyahkan melalui pengucapan talak oleh suami atau putusan hakim, kawin
lagi dengan laki-laki lain.
Dengan
demikian terlihat bahwa selama ini telah terjadi pelanggaran HAM dalam
penyelesaian sengketa perkawinan anak Minang oleh pengadilan agama karena
kehidupan perkawinan mereka diatur oleh hukum adat, sementara perceraian mereka
diadili menurut hukum Islam saja.
b. Hukum Kekerabatan
Berkenaan dengan hukum kekerabatan, yang menyangkut dengan hukum pertalian
darah, mayoritas masyarakat Minang (kecuali perantau) tetap menggunakan hukum
adat, yakni berupa ikatan ibu-anak, mamak - kamanakan, ayah - anak, ipa-bisan, bako-anak
pisang, dsb. Hanya mereka yang hidup di rantau, tidak merasakan bagaimna hidup
menurut tatanan hukum adat Minangkabau, sehingga muncul keinginan untuk
merombak sistem kekerabatan ini.
c. Hukum Waris
Dalam Seminar Hukum Tanah dan Waris Minangkabau
tahun 1968 disimpulkan bahwa pewarisan harta pusaka dilaksanakan sesuai dengan
hukum adat. Sedangkan harta pancarian laki-laki, yaitu setengah dari harta yang
diperoleh selama perkawinan berlangsung ditambah harta bawaan sendiri, diwarisi
menurut al faraidh dan dapat dihibahkan kepada kamanakan maksimal sepertiga.
Berbeda dengan pepatah ABSSBK yang lahir dari rapat urang Tigo Luhak, kesimpulan Seminar tentu tidak dapat menjadi
sumber hukum dalam rangka yudikasi. Dalam kenyataan hidup masyarakat, tidak
pernah terlaksana. Bila suami meninggal dunia, harta dikuasai oleh janda secara
keseluruhan untuk digunakan bagi kepentingan semua anaknya sesuai dengan
kebutuhan. Jika seorang anak perempuan akan menikah, harta yang digunakan untuk
keperluannya tidak diklaim oleh saudara laki-laki. Tidak pernah janda
membagi-bagi harta pancarian suaminya sesuai al faraidh, jika tidak punya anak janda
memperoleh seperempat, jika punya anak hanya seperdelapan. Di antara anak-anak
demikian pula, tidak pernah saudara laki-laki menuntut dua kali bagian anak
perempuan. Anak laki-laki pada umumnya sadar bahwa kalau harta digunakan untuk
keperluan saudara perempuannya mereka tidak keberatan.
d. Hukum Tanah
Pada asasnya hukum tanah adat tetap berlaku di Minangkabau, sehingga
hak-hak komunal atas tanah masih ada, seperti ulayat suku, paruik, kaum dan
nagari. Awalnya semua tanah adalah hak komunal dari persekutuan hukum adat,
dengan prinsip tanah nan sabingkah, rumpuik nan saalai pangulu nan punyo. Mamaklah
yang mengurus dan mengatur pencadangan, pemanfatan, penggunaan, pemberian izin,
dsb. terhadap bidang-bidang tanah ulayat. Akibatnya mamak dihormati kamanakan,
karena hidup kamanakan tergantung mamak. Dengan
masuknya sistem kewarisan individual Islam yang memperkenalkan hak milik,
muncul keinginan sebagian anak Minang untuk memiliki secara individual bidang
tanah persekutuan. Ganggam bauntuak yang pada asasnya hanya hak pakai,
diperlakukan seperti hak milik oleh anggota kaum yang perempuan. Pemanfaatannya
tidak lagi di bawah kontrol mamak, seolah-olah mamak tidak lagi punya hak atas
tanah itu. Mamak baru dibawaserta kalau tanah akan digadaikan. Akibatnya,
martabat mamak di mata kamanakan menjadi luntur. Terjadi pula individualisering
lahan, menjadi lahan kecil-kecil yang dikelola secara individual, sehingga
tidak mungkin dikembangkan menjadi usaha skala besar dengan teknologi tinggi.
e.
Hukum Ekonomi
Awalnya suku, paruik,
kaum dan nagari itu merupakan lembaga ekonomi. Niniak mamak, pangulu, dan
nagari mengatur pengelolaan irigasi, jalan, turun ke sawah, pasar, dsb. secara
tradisional. Walaupun nagari mendirikan pasar nagari, pasar serikat, dsb. namun
sistem perdagangan yang dipakai adalah sistem pasif. Anak nagari membawa
produknya ke pasar lokal, menunggu datangnya konsumun, pedagang antar kota, antar pulau dan
eksportir. Pihak luar datang secara aktif dan langsung dengan lembaga yang kuat seperti VOC, NV,
Fa, CV, dsb. dengan berbagai model marketing sehingga merekalah yang menentukan
harga, baik harga jual produk maupun harga kebutuhan anak nagari. Akibatnya apa
yang dijual anak nagari murah dan apa yang mereka beli mahal. Inilah yang perlu kita fikirkan mengatasinya,
dengan membentuk Badan Usaha Nagari dan kosorsiumnya untuk memasarkan produk
anak nagari secara aktif sampai ke konsumen, di dalam maupun luar negeri. Jika
tidak kehidupan anak nagari tidak akan mengalami perubahan. Allah mengingatkan
bahwa merubah nasib harus dengan berkaum.
f.
Hukum
Perjanjian
Dalam kehidupan
sehari-hari, perjanjian-perjanjian tetap dilaksanakan menurut hukum adat,
seperti perjnjian jual beli, sewa menyewa, bagi hasil, pinjam meminjam, salang
pinjam (gadai), tuka imbuah, dsb. baik
dalam transaksi tanah maupun yang bukan tanah. Paling-paling ke dalam transaksi adat itu
ditambahkan kewajiban ijab kabul di antara para pihak, namun itupun tidak
terlaksana. Dengan munculnya Bank Syariah di Mianngkabau,
seolah-olah digunakan hukum Islam. Namun setelah diteliti, ternyata maksud
sesungguhnya adalah agar orang Islam yang memandang bunga adalah haram mau berhubungan dengan bank.
Kalau dalam perjanjian kredit dikatakan perjanjian bagi hasil, namun ternyata
hanya bagi untung saja. Padahal bagi hasil sesungguhnya adalah bagi untung
rugi. Kalau untung sama untung, rugi sama rugi. Tetapi bank syariah, tetap
menuntut debitur untuk membayar bagian hasil yang telah ditetapkan lebih dulu,
walaupun si debitur mengalami kerugian
dalam usahanya.
g. Hukum Administrasi Pemerintahan (adat)
Ketentuan hukum mengenai kewenangan memimpin dalam
masyarakat Minang tetap seperti sediakala, menggunakan hukum adat, misalnya
tentang syarat, kewenangan, dan kekuasaan pangulu, anggota dan pimpinan
Kerapatan Adat Nagari, mamak kepala waris, tungganai, dsb. Ke dalam struktur
pemerintahan adat telah dimasukkan unsur syarak, seperti adanya imam, malin, labai
dan katik dalam jabatan adat sebagai jabatan di bidang keagamaan. Dalam sistem
ketatanegaraan RI kewengangan persekutuan hukum adat untuk mengurus kepentingan
masyarakat setempat diakui dan dihormati seperti dimuat dalam Pasal 18 B UUD
1945 dan Pasal 1 ayat 12 UU No. 32/2004. Karena itu melalui Perda No. 9 Tahun
2000 tentang Pemerintahan Nagari telah terjadi pelanggaran HAM di Sumatera
Barat, karena perda ini mencampuri kewenangan nagari dalam mengurus kepentingan
masyarakatnya. Karena itu, sistem pemerintahan nagari harus dikembalikan sesuai
dengan asas otonomi asli, asas pengakuan persekutuan hukum adat sebagai
pelaksana pemerintahan terendah seperti yang ditetapkan UU No. 32/2004, dengan
menetapkan KAN sebagai pelaksana pemerintahan terendah, memilih calon Wali
Nagari untuk dipilih anak nagari dan ditetapkan Bupati melalui SK pengangkatan
Wali Nagari.
0 comments:
Post a Comment